oleh Wisnu Martha Adiputra
AWALNYA saya agak terkejut ketika menerima undangan untuk urun rembug dan berdiskusi tentang Taman Budaya, khususnya Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Saya bukan pemerhati budaya yang intens, terutama budaya yang berkaitan dengan seni dan tradisi. Saya hanya penikmat hasil kreasi budaya, terutama budaya populer. Namun ketika melihat atribut saya sebagai penonton seperti yang tertera di dalam undangan, saya bisa maklum. Kemungkinan karena saya menikmati betul mengamati budaya populer, terutama film dan musik populer dari sisi ilmu yang saya pelajari, ilmu komunikasi. Saya bukan hanya menikmati teks budaya populer yang dibawa oleh media untuk massa atau pun media yang merupakan kombinasi antara media untuk massa dan media komunikasi interpersonal, saya terinspirasi dan berusaha betul menghasilkan teks “baru” dari teks budaya populer yang saya akses tersebut.
Bagi saya Taman Budaya atau pun Gelanggang Remaja yang didirikan oleh pemerintah sejak masa lalu, sejak masa Orde Baru, adalah situs penting dalam pengembangan budaya walaupun dengan turut sertanya pemerintah bisa jadi kurang berakselerasi dengan kemajuan jaman. Pada dekade 1980-an itu, Gelanggang Remaja adalah situs penting bagi perkembangan anak muda di luar sekolah. Saya kira hal yang sama terjadi demgan Taman Budaya yang waktu itu cukup marak karena didukung penuh oleh pemerintah dan masih sedikitnya pilihan yang ada. Di era seperti sekarang ketika ekspresi dan opini dengan mudah menyebar melalui media baru, situs tempat bertemunya penggiat budaya secara langsung memang mestinya merevitalisasi diri seperti Taman Budaya ini. Saya akan mencoba memberi masukan untuk reposisi Taman Budaya Yogyakarta dengan cara memaknai dua kata pembentuknya, taman dan budaya. Selanjutnya pemaknaan pada dua kata tersebut akan saya relasikan dengan peran saya sebagai “penonton” kreasi kebudayaan.
Pertama, kata taman. Taman bisa kita artikan sebagai area di mana kita, warga masyarakat berkumpul dengan “indah”. Indah di sini artinya kita berkumpul dengan sukarela dan bersama dalam suasana menyenangkan. Tiba-tiba saja saya teringat dengan Alun-alun Selatan yang menjadi tempat berkumpulnya warga Yogyakarta. Pada pagi hari di hari libur lokasi ini dipenuhi warga untuk berekreasi dengan murah, mulai menonton gajah bagi anak-anak kecil sampai berolahraga ringan bagi warga berusia dewasa. Semuanya relatif diperoleh dengan gratis. Pada malam hari alun-alun Selatan dipenuhi dengan beragam atraksi, yang paling dikenal tentu saja permainan masangin, masuk di antara dua beringin. Permainan ini bahkan menjadi penarik bagi wisatawan luar daerah, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri. Permainan ini sederhana saja, namun karena unik akhirnya digemari oleh banyak orang. Atraksi sepeda dengan beragam bentuk disertai lampu-lampu hias di malam hari di alun-alun Selatan tentulah mengasyikkan pula diakses dan dipandang. Saya melihat bagaimana warga masyarakat menikmati apa yang “disajikan” oleh alun-alun Selatan. Hal yang saya takutkan di alun-alun Selatan ini adalah hadirnya pengusaha pada suatu hari nanti sehingga kita nantinya mesti membayar untuk menikmati semua atraksi yang ada di alun-alun ini. Semoga kekhawatiran ini tidak menjadi kenyataan.
Pertanyaannya, bagaimana menjadikan Taman Budaya Yogyakarta lokasi yang diinginkan warga untuk dikunjungi? Bagi saya sebagai penonton, karakter mengakses kreasi kebudayaan bukanlah murahnya “pertukaran” atau bahkan gratis, melainkan pada atraksi dan kreasi budaya yang melekat betul dan bisa dinikmati. Bukan sesuatu yang “jauh”. Sesuatu yang kurang akrab walaupun diberikan dengan gratis tidak akan menarik minat penonton dengan mudah. Aktivitas menonton seringkali bukan aktivitas yang sendirian bagi kita, warga Indonesia, sehingga kreasi kebudayaan tersebut mestinya cukup familiar untuk relatif banyak orang.
Selain itu, taman juga dapat berarti sebuah area tempat “keberagaman” membaur dan bercampur dengan dinamis. Kembali saya memberikan contoh apa yang terjadi di alun-alun Selatan. Di dalam semua atraksi tersebut, penikmat, penjual jasa peminjaman tutup mata untuk masangin, penyewa sepeda hias, pedagang dan tukang parkir saling membaur dan menjalani peran mereka masing-masing dengan tulus dan bahagia. Penikmat yang juga merupakan warga masyarakat dan warga negara memang memiliki hak untuk mendapatkan kebahagiaan jenis ini muncul di tengah-tengah kita hidup bermasyarakat. Pertanyaannya kemudian, bisakah Taman Budaya Yogyakarta menjadi tempat berkumpulnya keberagaman? Bagaimana penikmat budaya, berbagai karya dari beragam seniman, juga kesempatan yang relatif sama bagi setiap warga masyarakat untuk mengakses juga menikmatinya. Bila hal ini telah terpenuhi dengan memadai visi Taman Budaya Yogyakarta sebagai "the Window of Yogyakarta" kemungkinan dapat segera terwujud. Yogyakarta itu istimewa di mata warga masyarakat nasional dan dunia karena keberagamannya.
Sebagai penonton, kemudahan dan keragaman pilihan kreasi kebudayaan adalah soal yang penting pula. Untunglah di Yogyakarta, cukup banyak pilihan bagi berbagai kreasi kebudayaan, bukan hanya di Taman Budaya Yogyakarta. Walau begitu, hendaknya Taman Budaya bukan hanya menjadi salah satu lokus bagi kreasi kebudayaan di Yogyakarta tetapi juga menjadi sarana penyedia informasi bagi seluruh ajang kreasi kebudayaan, baik yang dilakukan oleh berbagai komunitas budaya masyarakat maupun yang difasilitisasi oleh pemerintah.
Pemaknaan berikutnya adalah pada kata kedua, budaya. Tak bisa dipungkiri ketika kita berbincang tentang budaya akan muncul dua jenis hasil budaya di benak kita. Hal ini saya ketahui ketika saya mengetahui serba sedikit tentang cultural studies. Hasil kreasi budaya itu paling tidak ada dua, ia merupakan manifestasi dari budaya “tinggi” dan “serius” dan budaya populer. Kebanyakan yang dimunculkan dan ditampilkan di Taman Budaya dianggap sebagai budaya tinggi tadi. Apa pun itu, mulai dari karya musik, visual, sampai seni gerak. Cara yang terbaik adalah membuat warga masyarakat menganggap apa pun yang “tampil” di Taman Budaya sebagai milik mereka sendiri. Taman Budaya menjadi representasi setiap kelompok dalam beragam identitasnya walau hal ini mungkin sulit terwujud. Pemaknaan ini sedikit banyak berelasi dengan pemaknaan atas taman sebagai wahana berkumpulnya keberagaman. Saya mencontohkan diri sendiri ketika misalnya ingin menonton pementasan tetapi saya merasa tidak terepresentasi di sana, saya lebih memilih menonton di tempat lain.
Dengan demikian, sebagai penonton saya akan cenderung memilih kreasi kebudayaan yang “mudah” dinikmati tanpa kening berkerut terlalu dalam. Hidup ini sudah lumayan sulit untuk apa ditambah mengakses kreasi kebudayaan yang njlimet. Walau begitu, bukan berarti sesuatu yang populer atau yang mudah dimaknai itu hal yang citarasanya rendah. Banyak kita temui kreasi budaya populer namun makna substantifnya lumayan mendalam. Di bidang musik populer misalnya, cukup banyak musik yang bisa menjembatani selera umum dengan sesuatu yang serius, seperti yang pesan yang dibawa oleh band Efek Rumah Kaca, kesadaran atas lingkungan hidup dan sosial yang lebih baik.
Pemaknaan mengenai budaya juga dekat dengan media. kita mesti bertanya pada diri sendiri, citarasa kultural seperti apa yang muncul dari masyarakat yang menonton tayangan sinetron buruk di televisi, hantu-hantu tak jelas di film, membaca komik-komik buatan orang Jepang yang kemungkinan tak relevan dengan masyarakat kita, dan mendengarkan lagu mendayu-dayu yang menguras airmata tanpa logika? Dengan demikian, citarasa budaya warga masyarakat sangatlah dekat dengan media yang kita tonton, dengar, dan akses dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya adalah bisakah Taman Budaya Yogyakarta menjadi alternatif bagi tampilnya kreasi teks budaya yang sekaligus menarik minat masyarakat? Walau media massa belum optimal memberikan pesan yang beujud kreasi budaya, kerjasama dengan media perlu dilakukan agar penikmati media tidak kehilangan citarasa yang baik dari budaya.
Bila kreasi budaya dikaitkan dengan media baru, Taman Budaya berpotensi melibatkan partisipasi banyak warga. Masyarakat Yogyakarta, terutama kaum mudanya, sangat dekat dengan media baru dan fasih menggunakannya untuk kepentingan bersama. Di dalam dua musibah yang melanda Yogyakarta, gempa dan erupsi gunung Merapi, media baru digunakan betul oleh warga Yogyakarta. Beberapa komunitas masyarakat yang menggunakan media baru antara lain Jalin Merapi, Cah Andong, Samsara, Coin for Chance, Gerakan 1001 Buku Tulis, dan Gerakan 1001 Bungkus. Begitu juga yang berkaitan dengan seni, ada dua komunitas yang pantas disebut yaitu Daging Tumbuh dan Mulyakarta. Bila Taman Budaya Yogyakarta mencoba menggunakan media baru, handphone, internet, dan game, tentunya hal ini dapat berimplikasi positif bagi keterlibatan warga. Penggunaan media baru kemungkinan berat atau merepotkan di awalnya, namun bila konsisten dijalankan, hasil positifnya akan dipetik juga.
Demikianlah beberapa catatan dan usul saya. Semoga berguna bagi Taman Budaya Yogyakarta dan nantinya juga implementatif untuk dijalankan. Sebagai bagian dari warga masyarakat Yogyakarta, saya pribadi bersedia membantu mengembangkan Taman Budaya Yogyakarta sesuai dengan kemampuan saya. Salam hangat dan sukses selalu.
Wisnu Martha Adiputra, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada dan peneliti di PKMBP (Pusat Kajian Media dan Budaya Populer) dan PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media). Keduanya berlokasi di Yogyakarta.